Senin, 05 Mei 2014

04. Peran republic Indonesia dalam menangani anak-anak bangsa



Indonesia merupakan penandatanganan Konvensi Hak Anak (KHA) dan World Summit for Children (WSC). Ratifikasi mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan hak semua anak untuk dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah serta menangani akar masalah yang mengarah pada situasi tersebut.
Diilhami oleh Tahun Internasional Anak 1979, maka pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur permasalahan tentang anak di Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini UU ini belum mempunyai PP (Peraturan Pemerintah) sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Disamping usia anak yang dimaksud di dalam UU adalah 21 tahun, ini juga berbeda dengan apa yang tercantum dalam KHA. Definisi anak sendiri memang masih menimbulkan banyak masalah di Indonesia. UU perkawinan No. 1 tahun 1974 menentukan usia kawin untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, UU tenaga kerja menentukan 14 tahun.
UU tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku tetapi dinamika permasalahan sebetulnya menuntut berbagai garapan serius. Pada masa lalu kesejahteraan anak hanyalah kegiatan represif seperti anak cacat, yatim piatu, dan sebagainya. Namun sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga agar anak Indonesia menjadi manusia yang mandiri, agar tidak cacat dalam bentuk lain. Sehingga kebijakan pemerintah dengan Keppres No. 44 tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakan suatu momentum. Akan tetapi pada akhirnya, kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah seremonial belaka, karena ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam menyikapi masalah anak di Indonesia
Adanya Pokja Pembinaan Anak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun 1986 sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait, LSM terlibat di dalamnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Adanya Inpres No. 3 tahun 1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus, walaupun kurang berjalan semestinya.
Upaya yang dikembangkan oleh FK-PPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia) dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia terbentuknya Pola Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun, panduan Idola Citra Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak Indonesia yang kemudian diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga sebetulnya secara serius pemerintah baru tahun 1993 dalam menangani masalah anak. Tindak lanjut kebijakan tersebut, maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak dan Remaja di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang diolah bersama antara Bappenas.
FK-PPAI dan Kantor Menko Kesra, diharapkan dapat mendorong terwujudnya gerakan terpadu tentang pembinaan anak sampai ke desa-desa. Namun karena ketidakpastian aparat pemerintah di desa-desa dalam membuat programnya, sehingga kurang dapat mengena pada sasarannya. Upaya UNICEF lewat program KHPPIA (Kelangsungan Hidup Pembinaan dan Pengembangan Ibu dan Anak) bekerjasama dengan Ditjen Bangda Depdagri di beberapa propinsi cukup memberi nuansa, walaupun pada akhirnya aparat pemerintah lagi-lagi hanya menganggapnya sebagai suatu proyek belaka.
Di bidang hukum, persetujuan terhadap UU Pengadilan Anak No. 3 tahun 1996 adalah suatu upaya lain dalam menyikapi masalah anak dalam konflik dengan hukum. Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak yang disponsori oleh Depsos dan UNICEF merupakan nuansa baru dalam pelaksanaannya. Namun leading sektor pemerintah yang kurang tepat, sehingga dalam pelaksanaannya di daerah kurang mendapat dukungan yang semestinya. Akan tetapi adanya lembaga ini tetap bisa dianggap sebagai nilai tambah karena ada wadah yang mengurusi masalah anak dalam kondisi sulit termasuk anak jalanan, pekerja anak, dsb.
Ratifikasi Konvensi ILO No. 138 pada bulan Desember 1997 adalah suatu langkah maju bagi keseriusan pemerintah akan tetapi menjadi masalah di lain pihak, karena akan meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia. Usia maksimum anak bekerja yang menurut konvensi tersebut adalah 15 tahun sedangkan pemerintah menetapkan 14 tahun sesuai dengan Permenaker No. 1 tahun 1987 maupun UU Tenaga Kerja No. 25/1997. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pekerja anak terlihat dari jumlah pengawas tenaga kerja yang berjumlah 1.128 pengawas dan 760 pengawas lapangan yang harus memantau 162.000 perusahaan. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa kadang terjadi kerjasama diantara mereka dalam mempekerjakan pekerja anak. Sehingga sanksi hukum dan denda Rp. 100 juta kadang dianggap angin lalu oleh pengusaha.
Di bidang pendidikan adanya UU Pendidikan No. 2 tahun 1989 yang diilhami Konsep Education for All yang dicetuskan oleh UNESCO yang kemudian ditindaklanjuti dengan program WAJAR 9 tahun (Wajib Belajar 9 tahun) guna mengurangi angka buta huruf, aksara dan angka. Akan tetapi UU ini belum mengatur masalah anak yang berada dalam kondisi sulit, hal ini hanya diatur dalam PP No. 2 tahun 1998 tentang UKA (Usaha Kesejahteraan Anak) bagi anak yang mempunyai masalah. Namun hal ini tidak mencakup anak jalanan, pekerja anak dsb.
Penanganan masalah anak jalanan secara serius baru dimulai pemerintah sejak tahun 1996 dengan adanya program UNDP - Depsos dan ADB. Depsos dengan membuat pilot proyek Rumah Singgah di 12 propinsi. Permasalahan tetap timbul karena ternyata aparat Depsos di daerah masih kurang memahami program ini, disamping tidak dapat dipungkiri ada beberapa lembaga yang memang kurang mampu menangani masalah tersebut. Pada akhirnya program inipun terasa hanya sebagai suatu proyek belaka.




Sumber :
http://caturagusriyanto.blogspot.com/2013/06/peran-pemerintah-yang-belum-efektif.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar