Indonesia merupakan penandatanganan
Konvensi Hak Anak (KHA) dan World Summit for Children (WSC). Ratifikasi
mencakup komitmen negara peserta dalam mewujudkan hak semua anak untuk
dilindungi dari eksploitasi dan perlakuan salah serta menangani akar masalah
yang mengarah pada situasi tersebut.
Diilhami
oleh Tahun Internasional Anak 1979, maka pemerintah menetapkan UU No. 4 tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak yang mengatur permasalahan tentang anak di
Indonesia. Akan tetapi, sampai saat ini UU ini belum mempunyai PP (Peraturan
Pemerintah) sehingga belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Disamping usia
anak yang dimaksud di dalam UU adalah 21 tahun, ini juga berbeda dengan apa
yang tercantum dalam KHA. Definisi anak sendiri memang masih menimbulkan banyak
masalah di Indonesia. UU perkawinan No. 1 tahun 1974 menentukan usia kawin
untuk perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun, UU tenaga kerja menentukan 14
tahun.
UU
tentang Kesejahteraan Anak sudah lama berlaku tetapi dinamika permasalahan
sebetulnya menuntut berbagai garapan serius. Pada masa lalu kesejahteraan anak
hanyalah kegiatan represif seperti anak cacat, yatim piatu, dan sebagainya.
Namun sebenarnya populasi seluruh anak menuntut perhatian juga agar anak
Indonesia menjadi manusia yang mandiri, agar tidak cacat dalam bentuk lain.
Sehingga kebijakan pemerintah dengan Keppres No. 44 tahun 1984 tentang Hari
Anak Nasional yang ditetapkan tiap tanggal 23 Juli, sebetulnya merupakan suatu
momentum. Akan tetapi pada akhirnya, kegiatan ini hanya menjelma menjadi sebuah
seremonial belaka, karena ketidaksiapan pemerintah dan aparatnya dalam
menyikapi masalah anak di Indonesia
Adanya
Pokja Pembinaan Anak yang diprakarsai oleh Kantor Menko Kesra sejak tahun 1986
sebenarnya cukup membuat lega, karena hampir semua departemen terkait, LSM
terlibat di dalamnya. Akan tetapi harapan tinggal harapan. Adanya Inpres No. 3
tahun 1997 tentang Pengembangan Kualitas Anak juga merupakan upaya yang bagus,
walaupun kurang berjalan semestinya.
Upaya
yang dikembangkan oleh FK-PPAI (Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan
Anak Indonesia) dalam memprakarsai Dasa Warsa Anak Indonesia terbentuknya Pola
Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia untuk 25 tahun, panduan Idola Citra
Anak Indonesia yang salah satunya berisi Asta Citra Anak Indonesia yang
kemudian diadopsi oleh Pemerintah dalam GBHN 1993. Sehingga sebetulnya secara serius
pemerintah baru tahun 1993 dalam menangani masalah anak. Tindak lanjut
kebijakan tersebut, maka pemerintah membuat Program Pembinaan Anak dan Remaja
di pedesaan dengan dana sebesar Rp. 500.000 yang diolah bersama antara
Bappenas.
FK-PPAI dan Kantor Menko
Kesra, diharapkan dapat mendorong terwujudnya gerakan terpadu tentang pembinaan
anak sampai ke desa-desa. Namun karena ketidakpastian aparat pemerintah di
desa-desa dalam membuat programnya, sehingga kurang dapat mengena pada
sasarannya. Upaya UNICEF lewat program KHPPIA (Kelangsungan Hidup Pembinaan dan
Pengembangan Ibu dan Anak) bekerjasama dengan Ditjen Bangda Depdagri di
beberapa propinsi cukup memberi nuansa, walaupun pada akhirnya aparat
pemerintah lagi-lagi hanya menganggapnya sebagai suatu proyek belaka.
Di
bidang hukum, persetujuan terhadap UU Pengadilan Anak No. 3 tahun 1996 adalah
suatu upaya lain dalam menyikapi masalah anak dalam konflik dengan hukum.
Pembentukan Lembaga Perlindungan Anak yang disponsori oleh Depsos dan UNICEF
merupakan nuansa baru dalam pelaksanaannya. Namun leading sektor pemerintah
yang kurang tepat, sehingga dalam pelaksanaannya di daerah kurang mendapat
dukungan yang semestinya. Akan tetapi adanya lembaga ini tetap bisa dianggap
sebagai nilai tambah karena ada wadah yang mengurusi masalah anak dalam kondisi
sulit termasuk anak jalanan, pekerja anak, dsb.
Ratifikasi
Konvensi ILO No. 138 pada bulan Desember 1997 adalah suatu langkah maju bagi
keseriusan pemerintah akan tetapi menjadi masalah di lain pihak, karena akan
meningkatkan jumlah pekerja anak di Indonesia. Usia maksimum anak bekerja yang
menurut konvensi tersebut adalah 15 tahun sedangkan pemerintah menetapkan 14
tahun sesuai dengan Permenaker No. 1 tahun 1987 maupun UU Tenaga Kerja No.
25/1997. Ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pekerja anak
terlihat dari jumlah pengawas tenaga kerja yang berjumlah 1.128 pengawas dan
760 pengawas lapangan yang harus memantau 162.000 perusahaan. Bahkan tidak
dapat dipungkiri bahwa kadang terjadi kerjasama diantara mereka dalam
mempekerjakan pekerja anak. Sehingga sanksi hukum dan denda Rp. 100 juta kadang
dianggap angin lalu oleh pengusaha.
Di
bidang pendidikan adanya UU Pendidikan No. 2 tahun 1989 yang diilhami Konsep
Education for All yang dicetuskan oleh UNESCO yang kemudian ditindaklanjuti
dengan program WAJAR 9 tahun (Wajib Belajar 9 tahun) guna mengurangi angka buta
huruf, aksara dan angka. Akan tetapi UU ini belum mengatur masalah anak yang
berada dalam kondisi sulit, hal ini hanya diatur dalam PP No. 2 tahun 1998
tentang UKA (Usaha Kesejahteraan Anak) bagi anak yang mempunyai masalah. Namun
hal ini tidak mencakup anak jalanan, pekerja anak dsb.
Penanganan masalah anak
jalanan secara serius baru dimulai pemerintah sejak tahun 1996 dengan adanya
program UNDP - Depsos dan ADB. Depsos dengan membuat pilot proyek Rumah Singgah
di 12 propinsi. Permasalahan tetap timbul karena ternyata aparat Depsos di
daerah masih kurang memahami program ini, disamping tidak dapat dipungkiri ada
beberapa lembaga yang memang kurang mampu menangani masalah tersebut. Pada
akhirnya program inipun terasa hanya sebagai suatu proyek belaka.
Sumber :
http://caturagusriyanto.blogspot.com/2013/06/peran-pemerintah-yang-belum-efektif.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar